LAZADA.CO.ID

Lazada Indonesia
Home » » Ketegaran Seorang Anak Yatim Piatu

Ketegaran Seorang Anak Yatim Piatu

*Ketegaran Seorang Anak Yatim Piatu*
Aku menatap bocah enam tahun yang berdiri di
depanku. Tubuhnya penuh dengan daki. Aroma tak
sedap merasuki penciumanku. Entah sudah berapa
lama tubuhnya yang mungil tak bersentuhan
dengan air dan sabun mandi.

Bola matanya yang indah memancarkan sebuah
semangat. Astaga! Senyumannya manis sekali
ketika dia tersenyum padaku. Sepasang lesung pipi
menghiasi wajahnya. Laksana pelangi yang
menghiasai langit hujan.
“Nama kamu siapa?” tanyaku sambil membalas
senyumnya.
“Lukman,” jawabnya sambil tangannya memainkan
ujung bajunya yang memiliki banyak tambalan.
“Lukman, datang ke sini dengan siapa?”
Diam. Tak ada jawaban. Pandangannya menyapu
lantai kelas yang kosong. Masih belum ada murid
yang datang. Biasanya kalau hujan seperti ini
murid-murid datangnya suka agak telat.
Ada sebutir air mata yang mendadak jatuh
membasahi pipinya. Aku menjadi bingung dengan
reaksinya atas pertanyanku.
“Lukman, datang sendiri ya?” tanyaku sambil
menggengam tangannya yang dingin.
“Emang kalau ngga ada ibu sama ayah ngga boleh
sekolah di sini ya, kak?” jawabnya pelan.
Jawaban Lukman menusuk hatiku.
“Siapa pun bisa belajar di sini. Termasuk kamu,”
jawabku lalu mengelus-ngelus kepalanya dengan
lembut.
“Lukman ngga punya Ayah dan Ibu. Ayah dan Ibu
Lukman sudah meninggal. Lukman hanya tinggal
dengan nenek.”
Lalu, aku memperhatikan kantong plastik tua yang
dibawanya. Merasa, aku penasaran dengan isi
kantong plastik tersebut. Lukman langsung
mengeluarkan isinya.
Maa Sya Alloh! Aku mencoba membendung air
mataku agar tidak jatuh.
Miris, Sesak, Sedih dan terharu menyatu di dalam
dadaku melihat isi kantong plastik yang di
bawanya.
Dengan bangganya dia memperlihatkanku,
beberapa lembar kalender usang yang telah
dipotong empat lalu di lobangi dan diikat dengan
tali dijadikan buku. Sebuah pensil yang sepertinya
sudah di serut dengan pisau.
“Buku Lukman, jelek ya kak?” Aku langsung
memeluknya.
Suaraku sepertinya tertahan di tenggorokanku. Aku
tak mampu mengatakan apa pun. Air mataku pun
berhasil jatuh. Aku mengagumi semangatnya yang
ingin belajar. Sebuah semangat yang luar biasa di
antara keterbatasan yang dimilikinya.
Sewaktu aku kecil, aku sering merobek bukuku
hanya untuk membuat pesawat kertas atau perahu.
Ketika aku duduk di bangku MTs dan MA, bukuku
sering penuh dengan coretan yang tidak jelas.
*****
Pelajaran di sekolah telah usai dan anak-anak
lainnya sudah pulang semua. Aku menggantar
Lukman pulang. Bukan karena dia tidak bisa pulang
sendiri. Tapi aku ingin melihat di mana dia tinggal.
“Kakak, ini rumah Lukman!” ucapnya dengan penuh
kebanggan. Tak ada sedikit pun rasa malu.
“Ini bukan rumah apa lagi gubuk”, Dalam benakku
sambil melihat yang dia katakan.
Aku memperhatikan hamparan tikar tua yang
menjadi alas. Sekat setinggi lutut orang dewasa
mengelilingi rumah Lukman. Tidak ada dinding
sama sekali apa lagi atap. Jalan tol megah menjadi
atapnya. Tumpukan kardus menjadi perabot rumah
tersebut. Halamannya penuh dengan tumpukan
gelas dan botol bekas air mineral.
“Masuk, kak! Nenek lagi ngga ada. Masih mulung!”
Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya. Aku
masuk lalu menghempaskan tubuhku ke lantai.
“Kak, ini airnya diminum ya,” ucap Lukman lalu
menyerahkan segelas air putih.
Aku meraih gelas yang penuh dengan air putih
tersebut lalu meminumnya. Terasa aneh di lidahku.
Sepertinya itu adalah air sumur yang telah di rebus.
*****
Dengan segala upaya dan juga usulan kepada Keala
Madrasah, Lukman akhirnya diterima di Madrasah di
mana aku mengajar, Dalam kurun 2 minggu dia
sudah bisa mengenal semua abjad dan angka dan
beberapa huruf hijaiyah hampir keseluruhan.
Prestasi yang tidak dapat diikuti oleh teman-teman
sekelasnya yang lain.
“Wow! Lukman hebat! Sudah bisa mengenal semua
huruf,” pujiku setelah kelas selesai.
Dengan malu-malu dia tersenyum padaku. Detik
berikutnya, dia mencari sesuatu di dalam tas yang
pernah aku berikan padanya.
“Lukman, mau bisa membaca Al-Quran seperti
Ayah dan Ibu dulu. Makanya Lukman mau belajar
kak.”
Subhanalloh... Mulia sekali sekali hati anak ini.
Wajahku rasanya seperti tertampar. “Astaghfirulloh
... Pagi ini aku telah melupakanMu. Aku belum
membaca sabda-sabda suciMu,” Bisikku dalam hati.
Pada Suatu Hari...
Wajahku memancarkan kegelisahan. Entah kenapa,
aku merasa kuatir ketika Lukman belum juga
datang. Tidak seperti biasanya, jam segini dia
sudah datang. Selalu dia menjadi murid yang
pertama kali hadir di kelas. Lima menit lagi kelas
akan di mulai.
Hingga waktu jam proses belajar mengajar,
Lukman tidak datang.
“Sakitkah dia?” tanyaku dalam hati.
Tak ada satu pun yang tahu alasan Lukman tidak
hadir hari ini di kelas.
Selesai kelas, aku langsung bergegas menuju ke
tempat tinggalnya. Sebelum sampai ke rumah
Lukman, seorang ibu menyapaku.
“Cari Lukman ya, Mas?”
Aku menganggukan kepala sambil menjawab “Iya,
bu!”
“Lukman di rumah sakit, Mas! Semalam Lukman
…….”
Sungguh, aku tidak mampu mendengar penjelasan
ibu tersebut. Seragam dan perlengkapan sekolah
yang aku pegang untuk Lukman rasanya ingin lepas
dari tanganku.
*****
Rasanya langit seperti runtuh dan menimpaku
ketika melihat keadaan Lukman. Tangan kanannya
penuh dengan perban. Lukman kecelakaan ketika
membantu neneknya memulung dan tangan
kanannya terlindas ban truk sehingga dia harus
diamputasi. Dengan bekal pinjaman sana-sini dan
bantuan tetangga serta pengguna jalan raya yang
menyaksikan peristiwa tersebut, akhirnya Lukman
di bawa ke rumah sakit.
Kantong plastik yang berisi seragam sekolah, tas
dan perlengkapan sekolah terlepas dari tanganku,
Masih terngiang di kepalaku percakapan kami
kemaren.
“Kak, Lukman mau masuk Sekolah tapi kata nenek,
uangnya belum cukup. Katanya baju seragam
sekolah mahal.
Tapi Lukman percaya kalau Alloh pasti akan kasih
nenek duit biar Lukman bisa sekolah.”
“Lukman, pasti sekolah. Percayalah!”
Tangan kanannya yang buntung dibalut perban.
Betapa mirisnya hatiku melihat perban itu. Aku
melihat tubuhnya yang pucat dan menahan rasa
sakit diantara selang infus yang masih terpasang
ditubuhnya.
Aku mengumpulkan semua kekuatanku hanya
untuk menyapanya.
“Lukman... ” lalu aku duduk di sisinya. Aku
membelai rambutnya.
“Kak, tangan Lukman sakit sekali. Tangan Lukman
kenapa dipotong? Kan Lukman mau nulis?”
Aku mencoba untuk menahan air mataku untuk
tidak jatuh membasahi pipiku. Aku tidak boleh
menangis didepan Lukman.
“Lukman pasti sembuh!” kataku mencoba
menghiburnya.
“Kalo Lukman sembuh itu artinya tangan Lukman
tumbuh lagi ya, kak?”
Nenek Lukman berdiri dibelakangku memegang
erat pundakku. “Hanya Alloh yang tau betapa
perihnya hati ini melihat keadaan Lukman.
“Oh iya, Lukman lupa. Lukman bisa menulis pakai
tangan kiri. Kalau Alloh ngga kasih mukjizat untuk
numbuhin tangan kanan Lukman, Alloh pasti kasih
mukjizat buat Lukman untuk menulis dengan
tangan kiri.” Ucapnya dengan senyuman.
Aku tidak bisa menahan air mataku untuk tidak
jatuh. Aku juga merasakan tetesan air mata nenek
Lukman jatuh membasahi bahuku. Aku ngga bisa
membayangkan kalau aku mengalami apa yang
dialaminya. Aku mungkin bisa gila! Tapi berbeda
dengan Lukman. Dia tetap optimis meski dia sendiri
tidak tahu arti optimis itu apa.

0 komentar:

Posting Komentar

facebook